cerpen cintaku bersemi di negri sakura

       Kepergian saudara kembarku tuk selamanya membuat hari-hariku kelabu. Setelah ibu membuka memoriku tentang saudara kembarku, Nida, barulah aku mempunyai semangat baru untuk hidup. Semasa hidupnya, cita-cita terbesar Nida adalah pergi ke Jepang. Kini aku berusaha untuk mewujudkannya. Harapan itu didukung dengan terpilihnya aku menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba kaligrafi Jepang bersama Kak Benny, kakak kelasku di sekolah.
Hasil yang memuaskan akhirnya ku dapat. 


Aku juara pertama sedangkan Kak Benny juara ke dua. Hadiah yang kami raih salah satunya ialah wisata ke Jepang. Aku sangat bahagia karena tercapai sudah apa yang aku inginkan dan Nida cita-citakan. Aku dan Kak Benny menikmati indahnya pemandangan di Taman Sakura. Saat itu hal yang tak ku sangka terjadi.
Di bawah pohon rindang, dengan dihiasi mekarnya bunga Sakura, naungan awan putih, dan sorotan mentari sore aku berdo’a untuk kebaikan kami dan Nida. Ku hadiahkan doa cintaku untuk Nida.


 Cintaku Mekar di Negeri Sakura

Aku masih merenung di depan cermin. Mataku terfokus menatap diriku yang sebenarnya. Pikiranku kosong tak bermakna, seakan melayang pada kejadian seminggu yang lalu. Kejadian itu amat menyedihkan hingga hatiku remuk berkeping-keping, diriku hancur bak butiran debu yang beterbangan di ruang hampa, seakan aku sudah tak ada artinya hidup di dunia ini.
Seminggu yang lalu, saudara kembarku, Nida, meninggalkanku tuk selamanya. Ia tewas pada kecelakaan maut di kilometer 99 Purwakarta saat kami sekeluarga hendak pergi ke Jakarta. Hujan turun dengan sangat deras, petir menyambar dimana-mana, dan langit hanya menampakkan kelabunya tanpa sinar mentari. Jalan tol yang sangat panjang membuat mata kami lelah memandang. Sejauh mata memandang hanya jalan dan jalan. Mungkin saat itu ayah juga merasakan hal yang sama dengan kami, apalagi ayah yang menyetir mobil. Tiba-tiba ayah kehilangan konsentrasi, mobil kami oleng lalu menabrak pembatas jalan sehingga bagian kiri depan mobil remuk. Orang yang duduk di bagian depan kiri itu adalah Nida. Ia tewas setika dan aku masih ingat kata terakhir yang diucapkannya, “A… Allahu!”.
Awan kelabu, rintikan air turun perlahan. Suasana itu mendukung munculnya kabut kesedihan pada pandanganku. Hatiku masih luka dan kenanganku tentang Nida masih terukir kuat dalam benakku. Tiap hari hanya aku habiskan dengan memandang cermin di kamar. Ya, hanya itu. Mungkin aku keluar kamar hanya pada lima waktu untuk menunaikan kewajiban pada Tuhan dan makan alakadarnya. Saat aku sedang makan, ibu menghampiri dengan raut muka yang sedih.
“Nak, sampai kapan kamu begini? Teman-temanmu di sekolah selalu menanyakanmu.” Lirihnya pilu sambil membelaiku.
Aku hanya diam seribu bahasa sambil memainkan sendok dengan pandangan kosong.
“Mida, jawab pertanyaan ibu! Sikapmu seperti ini membuat Nida tidak tenang di sana! Apa kamu tidak ingin membahagiakan Nida?” Tanya ibu sambil mengangis. Aku tak kuasa saat mata kami beradu pandang hingga akhirnya akupun bicara.
“Bagaimana aku bahagiakan Nida?” Kataku tanpa ekspresi.
“Dengan mewujudkan cita-citanya yang tertunda. Bukannya saat kecelakaan itu kita akan mengantar kau dan Nida untuk lomba bahasa Jepang? Bukannya Nida denganmu sangat ingin ke Jepang?” Ibu berkata dengan nada sendu.
Aku terisak-isak saat ibu membuka memoriku tentang Nida. Aku ingat betul kata-katanya dulu, “Mida, aku ingin mengajakmu ke Jepang. Di sana kita memetik bunga Sakura berdua ya? Wah.. pasti indah sekali!”. Dari kecil cita-cita terbesarnya ialah pergi ke Jepang lalu memetik bunga Sakura. “Jika aku wujudkan Nida pasti senang di sana.” Gumamku dalam hati. Segera aku menatap lekat ibu yang sedang bersedih.
“Ibu, maafkan Mida selama ini. Sikap Mida seperti ini tidak lain karena Mida sangat cinta Nida.” Aku berkata sambil menangis lalu memeluk ibu.
“Iya, Nak. Ibu mengerti perasaanmu, tapi itu tidak baik. Ibu minta kamu semangat lagi, bantu wujudkan cita-cita Nida yang tak sempat ia wujudkan jika kamu memang mencintainya.”
“Iya bu. Mida akan berusaha. Mulai besok, Mida kembali sekolah ya bu?”
“Syukurlah, ibu senang sekali mendengarnya. Kamu memang anak baik.” Ibu mencium keningku. Ia terlihat sangat bahagia mendengar ucapanku.
Udara pagi terasa sejuk, terhirup sampai paru-paru. Butiran embun nampak bersih, bulat-bulat bagai mutiara dan berkilauan saat tersinari matahari. Daun-daun pohon berayun elok. Rumput-rumput yang ku injak sepanjang jalan basah menyegarkan. Hari ini adalah kali pertamaku kembali sekolah. Gerbang SMAN 1 Garut telah terbuka. Hari itu masih sangat pagi sehingga belum ada siswa yang datang selain aku. Aku masuk gerbang lalu mnyusuri koridor kelas. Aku duduk di dekat pohon cemara dan merasakan hembusan angin yang memenuhi seluruh ruangan terbuka SMAN 1 Garut.
Ku langkahkan kaki masuk ke dalam kelas dan segera duduk di bangku paling depan. Tak lama setelah itu, Nissa datang. Raut mukanya nampak senang bertemu denganku.
“Mida?? Aku rindu sekali! Akhirnya kamu sekolah juga!” kata Nissa terkejut sambil memeluk erat tubuhku. Teman-teman perempuan lainpun berdatangan dan melakukan hal yang sama dengan Nissa padaku. Aku hanya bisa membalas dengan pelukan kembali dan sedikit senyuman.
Kami mengikuti pelajaran seperti biasa sampai pukul sepuluh lalu istirahat. Sebelum keluar kelas, Nurla Sensei (Ibu guru Nurla), guru bahasa Jepang menghampiriku dan mengatakan bahwa ia ikut berduka cita atas kepergian Nida. Lalu Nurla Sensei menyuruhku untuk menemui Kak Benny, ketua Japanese Club saat ini di kantin. Namun aku tak paham mengapa aku harus menemuinya. Tanpa bertanya-tanya, aku memenuhi permintaan Nurla Sensei dengan ditemani Nissa.
Di kantin, Kak Benny telah menunggu. Entah mengapa tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Darah berdesir dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuhku yang tadinya hangat berubah seperti es batu yang kaku. “Ya Tuhan, kenapa tingkahku kikuk kayak gini?” Lirihku dalam hati.
“Gimana kabarnya Mida? Sehat?” Sambut Kak Benny dengan hangat.
“Sehat.” Jawabku singkat sambil menarik kursi tepat di depan Kak Benny. Nissa hanya memandangiku sambil senyum-senyum sendiri.
“Langsung saja ya Mid. Sebelumnya kakak minta maaf telah mengganggu istirahatmu. Gini, tanggal 1 Maret ada lomba kaligrafi Jepang di Universitas Seni Bandung. Kata Nurla Sensei kamu terpilih menjadi perwakilan sekolah ini, kamu bersedia kan?” Jelas Kak Benny.
“Apa Kak? Saya yang jadi perwakilan?” Tanyaku kaget.
“Iya. Kamu bersedia kan?” Tanyanya kembali.
“Sebenarnya saya mau saja Kak. Tapi…”
“Tapi apa?” Potong Kak Benny.
“Saya sendirian Kak?” Tanyaku kembali.
“Tidak. Kamu perwakilan kelas X dan kakak perwakilan kelas XI. Kau tidak keberatan kan?” Kak Benny tersenyum.
“Apa? Bedua?” Aku kembali terkaget. Jantungku berdegup lagi, bahkan lebih kencang dari degupan yang pertama.
“Iya, tapi jangan kaget gitu dong… Kan ada guru yang jadi pembimbing.”
Aku mengangguk.
“Oh iya, hadiahnya lumayan lho, tiga juara utama bisa pergi ke Jepang!” Kata Kak Benny.
Aku kembali mengangguk, pertanda bahwa aku paham.
“Oke, kalau kamu siap dan bersedia setiap Kamis dan Sabtu kita latihan di rumah Nurla Sensei pulang sekolah. Wah, sudah jam setengah sebelas, sebentar lagi masuk. Kakak duluan ya Mid, kita ketemu di rumah Nurla Sensei ya… Bye!”. Kak Benny berlalu dengan tergesa-gesa, sambil melambaikan tangan ke arahku. Akupun hanya bisa membalas lambaian tangannya hingga ia terlihat menghilang dari pandangan.
Hari demi hari berlalu. Tak terasa, tanggal 1 Maret di depan mata. Kini saatnya aku dan Kak Benny unjuk kebolehan dalam lomba kaligrafi Jepang di Universitas Seni Bandung se-Jawa Barat. Pesertanya sangat banyak. Hampir semua SMA favorit tak ketinggalan mengikuti lomba ini. Biasanya ketika aku melihat banyak peserta, semangatku menjadi ciut, tapi saat ini tak sedikitpun rasa cemas terasa bahkan aku dan Kak Benny adalah peserta tercepat dalam membuat karya. Kami rasa berkat latihan yang optimallah kami menjadi cepat dalam pengerjaan ketika lomba.
Tepat pukul satu siang, saat mentari sedikit tergelincir dari tengah petala langit, pengumuman pemenang dimulai. Moderator berdiri tegap di atas panggung aula dengan microfon dalam genggamannya. Suaranya menggema menyebar ke setiap sudut aula. “Baik hadirin, untuk mengefektifkan waktu, saya akan membacakan tiga pemenang utama lomba kaligrafi Jepang tingkat SMA se-Jawa Barat. Juara ke tiga diraih oleh… A… Amelia Madani dari SMAN 3 Bandung. Kepada Amelia saya persilakan naik ke atas panggung.”
“Wah, hebat sekali dia. Apa aku akan menjadi juara? Ataukan harapanku tuk pergi ke Jepang pupus saat ini karena aku tak berhasil menjadi juara? Ya Tuhan, luruskanlah niat hamba. Hamba semata-mata hanya ingin membahagiakan Nida di sana.” Gummamku dalam hati. Aku merunduk seolah merasa bersalah jika kali ini aku tidak juara. Perlahan butiran bening membasahi pipiku.
“Mida, kenapa?” Kata Nurla Sensei dari sampingku.
Aku menggeleng dengan kepala masih tertunduk. Walau begitu telingaku masih siaga mendengarkan hasil lomba yang kembali diumumkan moderator. “Juara ke dua… jatuh kepada… Benny Ramansyah dari SMAN 1 Garut…” Kata moderator dengan keras. Hatiku sangat bahagia karena Kak Benny akhirnya juara juga. Namun diriku kembali menciut, pikiranku cemas sekali .
Moderator menarik nafas untuk mengumumkan juara pertama. Hadirin nampak sangat antusias sehingga suasana hening, tak ada suara kecuali tarikan nafas moderator. Akupun mengangkat wajahku dan menghapus air mata. Mataku segera ku tujukan kepada wajah moderator di depan panggung.
“Juara pertama.. jatuh.. ke.. pa.. da.. Mida Aghniya dari SMAN 1 Garut. Kapada Mida saya persilakan naik ke atas panggung. Selamat ya.. Ketiga juara ini selain mendapat uang tunai dan sertifikat juga akan mendapat tiket wisata ke Jepang!”.
Aku sangat bahagia. Syukur ku panjatkan kepada Tuhan yang tak henti-hentinya mendengar do’aku. Di depan panggung Kak Benny menghadiahkan senyuman dan ucapan selamat. “Kamu memang hebat Mid! Tak salah kau bersama kakak mengikuti lomba ini.” Kata Kak Benny. Aku sedikit tersanjung. Tepuk tangan terdengar meriah menyambut keberhasilan ketiga juara. Nurla Senseipun tampak menitikkan air mata bahagia. Jika ibu ada di sini pasti ia akan sangat bangga dan terharu.
Kabar keberhasilanku tercium semerbak wanginya di sekolah. Kepala sekolah mengucapkan terima kasih secara langsung kepada aku dan Kak Benny pada saat upacara bendera. Besok, hari Selasa kami akan pergi ke Jepang bersama ibu kami masing-masing karena tiap juara ada dua jatah tiket. Kak Benny mengajak ibunya, begitupun aku.
Di sore yang cerah, sebelum mentari menuju tempat persinggahannya di ufuk barat, aku, ayah, dan ibu pergi ke kuburan Nida. Di sana kami berdo’a untuk Nida. Haru sangat kami rasa. Air mata berderai tak terbendung. Saat itu aku membawa kabar gembira bagi Nida karena harapannya akan segera aku wujudkan. “Nida, besok aku akan ke Jepang. Akan ku tunaikan harapanmu yang indah itu. Memetik Sakura untukku dan untuk kebahagiaanmu. Jangan sedih karena kau tak bisa ikut. Aku yakin di sana kau akan mempunyai tempat lebih indah dari taman Sakura. Di sana kau baik-baik ya…” Aku melambai ke arah kuburan Nida sambil berlalu meninggalkannya.
“Ngiung…” Suara pesawat terbang semakin jelas terdengar. Kami berempat telah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah semua bersiap kami masuk pesawat. Lima jam lamanya di dalam pesawat lalu setelah itu kami sampai di Tokyo, ibu kota Jepang. Di bandara Tokyo kami disambut hangat oleh perwakilan panitia dari Universitas Seni Bandung, kamipun menuju Hotel Hana, sebuah hotel mewah berbintang lima. Dari pukul satu siang hingga pukul tiga kami istirahat di hotel. Sore harinya kami dijemput pemandu wisata untuk pergi ke Taman Sakura.
Kebetulan saat itu adalah musim semi. Langit masih cerah meski jarum jam menunjukkan pukul setengah empat sore. Angin berhembus lembut. Kami berjalan menikmati indahnya Sakura. Kak Benny mengajakku untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi dan lebih banyak bunganya. Di sana kami berfoto besama.
“Mida, indah sekali ya bunganya?” Kata Kak Benny.
“Iya, Sakura kan favoritku Kak.” Jawabku.
“Oh ya? Kalau begitu mana bunga yang paling kau suka?” Tanya Kak Benny sambil tersenyum manis. Aku sedikit gerogi dibuatnya.
“Itu Kak!” Aku menunjuk bunga yang paling mekar dan terletak agak tinggi.
Dengan tubuh tingginya Kak Benny meraih bunga itu lalu memberikannya padaku.
“Kau tau Mid? Jika aku memberi bunga kepada seseorang, berarati seseorang itulah yang aku suka. Sekarang jika bunga itu telah ada di genggamanmu, akan kau berikan kepada siapa bunga itu?” Kata Kak Benny sambil menatapku denga serius.
Aku salah tingkah dibuatnya. Apakah ini pertanda bahwa Kak Benny suka padaku? Ah, sudahlah… Tiba-tiba memoriku membayangkan Nida. Aku yakin Nida ada di sisiku. Seketika aku teringat akan sebuah hal. Kami berprinsip untuk tidak pacaran sebelum waktunya. Ya, aku membuat janji itu bersama Nida dan aku tak mungkin mengkhianati janji itu.
“Hey? Kok melamun sih? Jawab pertanyaan kakak dong Mid…” Pinta Kak Benny.
“Eh, maaf kak.” Aku kaget. Dengan memberanikan diri aku berkata, “Maaf kak, jika aku menerima bunga dari orang yang ku sayangi, aku akan memberikannya ke orang yang ku sayangi juga. Jika bunga itu dari kakak, akan ku berikan kepada Nida…”
“Maksudmu?” Tanya Kak Benny.
“Kak, aku menyayangi kakak sebagai kakakku sendiri, tak lebih dari itu. Aku juga mempunyai orang yang sangat aku sayangi lebih dari kakak yaitu saudara kembarku, Nida. Saat kami masih bersama Nida sangat ingin pergi ke sini. Memetik bunga Sakura bersama berdua. Namun saat tiba waktunya, kakak lah yang menemaniku memetik bunga itu. Aku yakin kakak dianugerahkan Tuhan untuk menjadi orang yang aku sayangi seperti Nida. Namun, itu bukan artinya aku lebih menyayangi kakak dibanding Nida. Maaf jika jawabanku mengecewakan kakak, tapi aku tidak bisa menggeser posisi Nida di hatiku saat ini.” Tuturku panjang lebar.
“Itu jawaban yang bijak adikku. Kau memang yang terbaik. Kakak juga bersyukur pada Tuhan karena bisa bertemu dengan orang sepertimu.” Jawab Kak Benny dengan memperlihatkan kebesaran hatinya.
“Syukurlah, kalau begitu kakak memahami keadaanku. Kakak, dengarkan aku berdo’a untuk Nida ya? Kita duduk di bangku bawah pohon itu.” Ajakku kepada Kak Benny. Kak Benny mengangguk lalu mengikutiku.
Di bawah pohon rindang, dengan dihiasi mekarnya bunga Sakura, naungan awan putih, dan sorotan mentari sore aku berdo’a, “Ya Tuhanku, aku berada di sini atas takdirmu. Aku adalah hamba yang tak kuasa dan tak berdaya. Terimakasih kau telah anugerahkan nikmat yang berlimpah. Ku menggapai cita berkat cinta-Mu dan cinta saudaraku, Nida. Berikan Nida keberkahan dan rahmat-Mu. Ampuni dosanya. Mekarkan amalannya seperti mekarnya Sakura di sore ini. Mekarkan cinta-Mu, cintaku, dan cinta hamba-hamba yang sholeh di dunia ini sehingga tak ada perpecahan di antara kita. Amin.”
Ku meminta pada-Mu Tuhan dengan penuh pengharapan. Berkat-Mu, ku merasakan indahnya cinta dan persahabatan. Ku harapkan selalu naungan dan perlindungan. Sampai akhir hayat dikandung badan.

2 comments:

ira tami tami said...

ijin share buat tugas

Unknown said...

http://reretaipan88.blogspot.com/2018/06/halo-sahabat-taipanqq-semuanya_26.html

Taipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
BandarQ
AduQ
Capsasusun
Domino99
Poker
BandarPoker
Sakong
Bandar66

Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5

Daftar taipanqq

Taipanqq

taipanqq.com

Agen BandarQ

Kartu Online

Taipan1945

Judi Online

AgenSakong

Post a Comment