CERPEN SEPUCUK SURAT BERBALUT RINDU

0

Jangan kamu sebut ini sebagai surat cinta hanya karena aku menggoreskannya dalam secarik kertas putih tak bernyawa. Sebutlah ini sebagai curahan hati dan kamu menjadi tempat curhatku. (catatan kecil di kertas merah berbalut rindu)

Hari ini gerimis kembali turun. Rasanya kota tempat aku dilahirkan dan tumbuh besar hampir menyamai kota Bogor yang ratusan kilometer jauhnya dari kotaku. Setiap hari mendung, lalu gerimis turun perlahan-lahan dan menjadi hujan deras yang disertai dengan angin kencang. Bahkan hujan kerap pula turun begitu saja

tanpa memberi pertanda, tanpa salam terlebih dahulu pada makhluk-makhluk bumi.
Hujan sering membuatku kalang kabut karena jemuran harus segera dipidahkan agar tidak basah lagi. Hujan mampu menghentikan semua aktivitas orang-orang. Begitu juga hujan mampu menggagalkan rencana para muda-mudi untuk bermalam mingguan di jantung kota atau sekedar menikmati lalu lalang kendaaraan dan bercengkrama santai bersama kawan-kawan di trotoar ditemani secangkir kopi. Hujan sering turun dengan begitu derasnya dan akan bertahan sampai pukul sembilan malam bahkan bisa sampai pagi.
Sudah lima hari berturut-turut setiap pukul empat sore awan hitam keabu-abuan menyelimuti kota ini, awan-awan tersebut berasal dari arah barat berarak menuju ke arah timur. Sebelum melanjutkan perjalanan,