“Huft...” Seorang cewek berparas manis menghembuskan nafas berkali-kali.
“Lo kenapa sih? Daritadi menghela nafas kayak ikan kehabisan oksigen!”
Komentar cewek berambut sebahu.
“Gue bingung, gimana gue harus bilang sama Azzam soal kepindahan gue ke
Jakarta.”
Cewek bernama Ajeng tersebut menoleh pada Nidya, sahabatnya. “Lo beneran
mau pindah ke Jakarta?”
Nidya mengangguk. “Bokap gue harus ngurus bisnisnya disana. Gue bingung,
Jeng! Lo tahu kan akhir bulan Azzam ulangtahun, sedangkan lusa gue udah
harus pindah.”
“Hei! Cewek-cewek lagi pada gosipin apa nih? Kayaknya seru banget.”
Azzam, cowok yang sedang menjadi topik perbincangan Nidya dan Ajeng
tiba-tiba muncul.
Ajeng melirik Nidya sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Kita lagi
ngebahas soal kepindahan Nidya ke Jakarta.”
Nidya membungkam mulutnya, dia tak percaya dengan jawaban yang
dilontarkan Ajeng. Sungguh, hatinya belum siap untuk menjelaskan
semuanya pada Azzam.
“Pindah? Nidya mau pindah ke Jakarta? Lo bercanda kan, Jeng?” Azzam
bertanya gusar.
“Gue serius! Kalau lo nggak percaya, tanya aja tuh sama orangnya.”
Azzam menggeser duduknya disamping Nidya. “Sayang, benar kamu mau pindah
ke Jakarta?”
Nidya menggigit bibirnya. “Iya, lusa aku harus pindah.”
“Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Azzam menatap mata Nidya.
“Aku--aku takut! Kalau aku cerita, kamu akan memutuskan hubungan kita.”
Dua bulir kristal bening menetes dari kedua pipi Nidya. “Aku belum siap
kalau semua itu terjadi.”
“Sayang, kenapa kamu bisa punya pikiran sepicik itu? Aku nggak mungkin
memutuskan hubungan kita cuma gara-gara kepindahanmu.” Azzam menghapus
airmata Nidya. “Atau mungkin kamu yang ingin mengakhiri hubungan ini?”
Nidya menggeleng kuat-kuat. “Itu keinginan terakhir dalam hidupku.”
“Tapi kamu harus janji, kamu tetap harus datang pada pesta ulangtahunku.
Oke?” Azzam mengusap lembut rambut Nidya.
“Ehem! Bisa nggak kalian akhiri acara drama mellownya? Gue empet nih
cuma jadi obat nyamuk.” Ajeng menyeletuk.
*
Tiba saatnya Nidya harus pindah. Sayangnya Azzam dan Ajeng tidak bisa
mengantarnya karena harus ikut pelajaran di sekolah. Terlebih lagi hari
ini ada tiga ulangan, jadi Nidya harus mengerti bahwa kekasih dan
sahabatnya tidak bisa berada di Airport untuk melepas kepergiannya.
Sesungguhnya Nidya merasa sedih harus jauh dari Azzam, hubungannya yang
sudah berlangsung hampir dua tahun apa sanggup bertahan saat jarak
memisahkan? Dirinya takut, Azzam akan melupakannya. Atau mungkin dia
yang melupakan Azzam?
*
Hari baru, kota baru, suasana baru dan sekolah baru. Nidya menjejakkan
kakinya malas menuju ruang Kepala Sekolah, ditempat dia akan menuntut
ilmu. SMA Taruna adalah salah satu SMA favorit yang terletak di Jakarta
Pusat. Kini, Nidya menjadi salah satu penghuni disana.
“Kamu murid pindahan dari Surabaya itu kan?” tanya seorang lelaki
berkumis tebal yang tak lain adalah Kepala Sekolah SMA Taruna.
“Iya, Pak!”
“Kamu masuk dikelas XI IPA-2, saya sudah menyuruh ketua kelas untuk
kesini.”
Tok..Tok..Tok..
“Permisi, Pak!” Seorang cowok bersuara bariton memberi salam dan masuk
kedalam ruangan.
“Farid, ini murid pindahan yang Bapak ceritakan. Tolong kamu bantu dia
beradaptasi selama beberapa hari.” Ucap Kepala Sekolah pada cowok
bernama Farid itu.
“Nidya, mulai sekarang kalau tidak ada yang mengerti kamu bisa tanyakan
pada Farid.” Lanjut Kepala Sekolah mengagetkan Nidya yang sedang asyik
menunduk menekuri sepatunya sambil memikirkan Azzam.
Demi kesopanan, akhirnya Nidya menoleh pada cowok disampingnya dan
tersenyum. Tapi perlahan senyumnya lenyap ketika mengenali sosok cowok
itu. “Farid? Kamu Muhammad Al Farizzi kan?”
Farid mengangguk. “Dan kamu Nidya kan?”
“Kalian sudah saling mengenal? Bagus kalau begitu! Tapi lanjutkan
nostalgianya diluar, Bapak banyak tugas yang harus dikerjakan.” Tegur
Kepala Sekolah dengan halus, melihat kelakuan kedua anak didiknya
tersebut.
“Maaf, Pak! Terimakasih.” Nidya meninggalkan ruang Kepala Sekolah
diikuti Farid di belakangnya.
Nidya berjalan cepat, dia mengutuk takdir yang mempertemukannya lagi
dengan Farid. Sungguh, Nidya enggan harus bertatap muka dengan cowok
itu.
“'Nidya! Tunggu! Kenapa lo menghindari gue?” Farid mencekal tangan
Nidya, menahannya pergi.
Nidya menepis pegangan tangan Farid. “Jangan sok akrab!”
“Tapi bukankah hubungan kita memang akrab? Apa lo lupa semua kenangan
tentang kita?”
“Hah? Setelah tiga tahun lo menghilang, sekarang lo bilang kenangan
kita? Buat gue, kenangan kita udah mati!”
“Gue minta maaf, Nid. Sungguh gue gak bermaksud ninggalin lo begitu aja.
Gue bisa menjelaskan semuanya.” Farid menatap Nidya sendu.
“Maaf, tapi penjelasan lo sudah terlambat! Sekarang gue sudah punya
kekasih yang mencintai gue seperti gue mencintainya.”
Farid terenyak mendengar perkataan Nidya, padahal selama ini dirinya
selalu menanti Nidya. Hatinya tak pernah lepas dari sosok dan nama
Nidya. Tapi, dengan gampangnya Nidya berubah? Melupakannya begitu saja?
***
“Hallo? Azzam?” Nadya bersuara ketika pada deringan kelima akhirnya
Azzam mengangkat telepon.
“Sori, gue Ajeng. Azzam lagi sibuk, Nid. Lo tahu kan, lusa Azzam ada
pertandingan break dance?”
Sejenak, Nidya merasa kesal. Kenapa sudah dua hari ini Nidya telepon
Azzam, selalu saja Ajeng yang mengangkat. “Please, bentar aja, Jeng! Gue
kangen sama Azzam.”
“Gimana ya? Lo tuh harusnya bisa ngertiin Azzam, dia butuh banyak
konsentrasi. Ntar gue sampein deh ke Azzam.”
Tutt..tutt..tutt
Telepon diputus
“Apa sih maksud Ajeng? Kenapa sekarang dia berubah?”
Memang sebenarnya Ajeng adalah teman Azzam dari kecil. Sedangkan Nidya
baru mengenal Ajeng dua tahun belakangan ini.
Farid menepuk bahu Nidya. “Lo kenapa, Nid?”
“Gue kangen Azzam--cowok gue. Udah dua hari dia gak ada kabar.”
“Daripada lo sedih dan manyun terus, mendingan lo ikut gue sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban Nidya, Farid menarik pelan tangan Nidya dan
menuntunnya ke mobil.
“Sebenernya kita mau kemana sih, Rid?”
“Ketempat favorit lo saat lo sedih.”
Farid menepikan mobilnya di parkiran Ancol.
“Mau apa kita kesini?”
“Kan tadi gue udah bilang kalau gue mau ngajak lo ke tempat favorit lo,
biar lo gak sedih lagi.” Farid tersenyum. “Sekarang mending lo turun.”
Nidya menuruti Farid, tapi tetap saja pikirannya masih belum bisa lepas
dari Azzam.
Nidya tertegun ketika Farid mengajaknya masuk ke suatu tempat
bertuliskan 'Planetarium'. “Lo masih ingat?”
“Gue selalu inget apapun tentang lo. Lo kan selalu bilang, saat pikiran
lo lagi kalut atau sedih semua bisa terobati saat lo menatap bintang.”
Nidya menitikkan airmata. Entah apa yang membuatnya menangis, Azzam atau
Farid?
“Kenapa lo nangis? Lo gak suka?”
Nidya menggeleng.
“Atau lo ingat soal cowok lo? Lebih baik lo lupain cowok yang cuma bisa
buat lo nangis.” Farid menyentuh dagu Nidya dan mendongakkannya. “Disini
ada gue, yang lebih perhatian sama lo. Lupain aja cowok lo itu.”
“Gue sayang sama dia...”
“Sstttt....” Farid mendekatkan wajahnya pada Nidya, dengan perlahan tapi
pasti Farid mengecup lembut bibir Nidya.
Untuk beberapa saat Nidya menikmati kecupan lembut itu. Tapi tiba-tiba
bayangan Azzam terlintas di otaknya.
“Lo apa-apaan sih!” Nidya menampar Farid dan pergi meninggalkannya.
***
Sudah beberapa hari ini Nidya menghindari Farid. Bahkan untuk sekedar
melihat wajahnya saja Nidya malas.
“Ya Tuhan, semoga Azzam yang angkat.” Nidya berdoa dalam hati ketika
menekan tombol hijau di handphonenya.
“Hai sayang, kok tumben telepon?” Suara Azzam terdengar lembut di
seberang sana.
“Azzam? Kemana aja kamu? Aku telepon kamu selalu sibuk.”
“Maaf sayang, kamu kan tahu kalau aku ada turnamen break dance. Dan aku
senang banget kelompokku maju ke babak final.”
Mendengar suara Azzam yang bersemangat entah kenapa Nidya jadi tidak
ingin marah lagi.
“Sayang, maaf ya aku harus latihan lagi. Nih ada Ajeng, katanya dia
kangen mau ngomong sama kamu.”
“Oke deh, semoga kelompok kamu jadi juara ya. Love you.”
“Makasihhhh sayang.”
“Kenapa Azzam gak balas ucapan cinta gue? Apa dia gak denger?” Nidya
berkata lirih.
“Lo pengen tahu kenapa Azzam sekarang berubah sama lo?” Tiba-tiba suara
Ajeng terdengar dari seberang sana.
“Ajeng? Emang lo tahu kenapa Azzam berubah?”
“Sebenernya gue gak enak mau cerita sama lo. Tapi karena lo temen gue,
jadi lebih baik gue kasih tahu lo yang sebenernya.”
Nidya makin penasaran dengan perkataan Ajeng yang dirasa berputar-putar.
“Soal apa?”
“Udah lama Azzam curhat sama gue kalau dia jenuh sama hubungan kalian.
Sebenernya dia pengen mengakhiri semuanya, tapi dia menunggu waktu yang
tepat.”
“Hah? Maksud lo apa?”
“Kalau lo emang sayang sama Azzam, sebaiknya lo yang mengakhiri hubungan
kalian. Daripada Azzam tersiksa harus terus berpura-pura mencintai lo.”
“Lo--bercanda kan, Jeng?”
“Buat apa gue bercanda soal beginian? Apa lo gak ngerasa kalau Azzam
ngejauhin lo? Setiap lo telepon selalu gue yang angkat, itu karena Azzam
malas mau ngomong sama lo.”
“Oke...kalau itu membuat Azzam bahagia gue rela.” Nidya memutuskan
sambungan telepon dengan gemetar, kristal bening perlahan mengalir
dipipi tembamnya.
***
Satu minggu sudah Nidya tidak pernah lagi menghubungi Azzam, begitu juga
sebaliknya Azzam tidak pernah menghubungi Nidya. Nidya amat sangat
terpukul mengetahui ternyata semua perkataan Ajeng benar adanya.
Bahkan, hari ini saat ulangtahun Azzam, Nidya sengaja melupakannya.
Ucapan ulangtahun maupun kado yang sudah dipersiapkannya kini sudah ada
ditempat sampah.
“Nid, sebaiknya lo sekarang ikut gue.” Farid mengagetkan Nidya yang
sedang asyik merenung.
“Kenapa sih lo selalu ganggu gue? Semenjak lo datang hidup gue hancur!”
“Gue minta maaf udah bikin hidup lo hancur.” Farid terpukul.
“Tapi...sebaiknya lo sekarang lo ikut gue. Karena ini antara hidup dan
mati.”
“Lo ngomong apa sih? Gue gak paham sama sekali.”
“Kalau gue jelasin sekarang keburu terlambat.” Dengan tergesa Farid
menarik tangan Nidya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil.
Selama perjalanan Nidya diam saja, pikirannya sibuk menerka-nerka kemana
Farid akan mengajaknya.
“Rumah Sakit Fatimah? Ngapain kita kesini? Siapa yang sakit?”
“Penjelasannya nanti aja, mending sekarang turun.”
Nidya menuruti Farid dan segera turun dari mobil. Perasaannya tiba-tiba
menjadi tidak enak. Pikiran buruk silih berganti melintas dipikiran
Nidya.
Farid setengah berlari sembari menggandeng tangan Nidya. Perjalanan
mereka berakhir didepan kamar bertuliskan Anggrek 15.
“Ajeng? Kenapa lo ada disini?” Nidya kaget melihat Ajeng sedang
berlinangan air mata. “Kenapa lo nangis?”
“Ngapain lo kesini? Belum cukup lo bikin Azzam menderita? Semua
gara-gara lo!” Ajeng mendorong tubuh Nidya hingga tersungkur.
“Azzam? Kenapa lo bawa-bawa Azzam? Ada apa sebenernya?”
“Padahal gue udah bohongi Azzam! Gue bilang lo selingkuh, tapi dia gak
percaya. Akhirnya dia nekat datang ke Jakarta, tapi sesampainya disini
gue ancam dia kalau gue akan bunuh diri! Saat gue berdiri ditengah
jalan, Azzam mendorong gue ketika ada truk mendekat!” Ajeng semakin
murka. “Semua ini gara-gara lo! Kalau Azzam gak kenal sama lo, semua ini
gak akan terjadi! Dan pastinya Azzam akan jadi milik gue! Padahal hari
ini hari ulangtahun Azzam!”
“Azzam kecelakaan?”
“Ajeng! Kenapa lo nyalahin Nidya? Dia gak salah apa-apa!” Farid angkat
bicara. “Lebih baik kita masuk kedalam aja.”
Nidya langsung berlari ketika melihat tubuh orang yang dicintainya
terbaring lemah tak berdaya. Bermacam-macam selang menancap ditubuh
Azzam.
“Zam, kenapa kamu? Jangan tinggalin aku, bangun dong!” Nidya mengguncang
pelan bahu Azzam.
“Maafin aku, Zam! Aku sayang sama kamu! Buka mata kamu.” Nidya
sesenggukan.
Azzam membuka matanya. “Nid..ya..?”
“Azzam? Kamu kenapa? Tolong cepat sembuh, aku butuh kamu.”
Azzam tersenyum sayu. “Ak..u ras..a wak.tu ku uda..h ga..k bany..ak
lag..i..”
“Kok kamu ngomong gitu sih?”
“Jan..gan sed..ih sayan..g, mana u..capan ula..ngtah..un bu..at ak..u?”
Azzam mencoba tersenyum.
“Happy Birthday sayang! Kamu harus sembuh, kita rayakan ulangtahunmu
sama-sama!” Nidya mengecup bibir Azza lembut. Tubuhnya gemetar karna
menahan tangis yang kian menjadi.
“Zam, maafin gue. Gue udah egois dan buat lo jadi begini.” Ajeng
mendekati Azzam.
“Gu..e ud..ah maaf..in l..o, tolo..ng jaga..in Nid..ya. Lo haru..s
bertema..n bai..k sam..a di..a..”
“Kenapa kamu ngomong gitu, Zam? Jangan pergi tinggalin aku! Aku butuh
kamu disini.” Airmata Nidya semakin deras mengalir.
“Ak..u saya..ng sam..a kam..u..” Perlahan Azzam menutup matanya dan
monitor jantung berubah menjadi garis lurus.
“Tidaaakkkkkkkkkk!!” Nidya berteriak kencang.
Farid langsung maju dan memeluk Nidya. “Lo yang sabar ya, hidup dan mati
seseorang udah digariskan.”
Seorang dokter masuk dan mencoba alat pacu jantung untuk menolong Azzam.
Tapi takdir berkata lain, Azzam sudah tidak bisa ditolong.
“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”
“Azzaaammmmmmmm.” Nidya jatuh pingsan ketika melihat wajah orang yang
dicintainya tertutup kain putih.
Begitu naas nasib Azzam, hari kelahirnya berubah menjadi hari
kematiannya. Tapi itulah takdir, kita tidak bisa meramalkan hidup dan
mati seseorang. Semuanya adalah kuasa sang Ilahi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment