Vinka sibuk menghitung satu persatu benda yang ada dihadapannya. Tujuh, delapan, sembilaann…. Yupz! Ia menjentikan jarinya. Kemudian ia bergegas mencari sesuatu didalam laci almari kamarnya. Ia mendapatkan yang ia cari. Iapun langsung menyelidiki isi didalamnya. Tinggal delapan puluh tujuh ribu empat ratus rupiah yang masih tersisa di dompetnya.
Vinka membulatkan tekadnya untuk yang kesekian kalinya. Ia segera mengambil jaket dan mulai mengenakannya. Kali ini ia benar-benar harus mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia ingin menggenapkan hitungannya menjadi sepuluh. Ia keluar dari kamarnya dengan mengendap-endap. Ia jinjitkan kedua kakinya agar tidak menghasilkan suara apapun. Tapi, sial ! ia selalu saja ketahuan.
“mau kemana lagi kamu?” sapa ibunya mengejutkan Vinka.
“anuuu, emm, eng,” Vinka berpikir keras. Alasan apalagi yang harus ia berikan agar Ibunya percaya. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “mau ketemu temen, Mam.” Jawabnya mantap.
“mau ketemu temen kok bajunya casual gitu. Yang cantik dong.” Sanggah ibunya sambil meneliti Vinka dari ujung rambut sampai kaki. “Vinka… kamu kan cewe sayang. Anak perempuan mama satu-satunya. Masa penampilan kamu ogah-ogahan kaya cowok gini, sih?!” omel ibunya dengan nada sedih.
“mam, please deh. Lagian Cuma mau ketemu temen aja kok. Kenapa harus rapi-rapi sih!”
“mama tau! kamu bukan mau ketemu temen kan?” ujar ibunya menyelidik. “hmm.. lagi-lagi. Mau berapa banyak sih bola basket yang kamu koleksi? Mama sampe pusing tau ngga, liat anak permpuan mama kaya gini.”
“mam, dibalik hobi Vinka yang kecowo-cowoan, Vinka juga masih punya sisi feminine kok. Kalo dipersen, mungkin kefemininan Vinka 70% lah.” Kilah Vinka menjelaskan. “udah yam mam, Vinka pergi dulu. Dah, mam! “ pamitnya sambil berlalu pergi setelah mencium punggung tangan ibunya.
Ibunya hanya geleng-geleng kepala memperhatikan tingkah laku anak gadisnya.
****
Vinka sampai di CPM ( toko yang menyediakan perlengkapan olahraga ). Dengan ramah para pramu niaga menyapanya. Para pramu niaga toko sudah tidak asing dengan wajah Vinka. Vinka memang sudah menjadi pelayan tetapnya sejak sepuluh bulan yang lalu. Bahkan mereka sudah tau apa yang akan Vinka beli disana. Dengan ramah, mereka menawarkan beberapa jenis bola basket keluaran terbaru. Seperti yang selalu Vinka tanyakan jika datang kesana.
Vinka mengamati setiap label harga yang tertera pada masing-masing bola basket yang dipajang disana. Lagi-lagi Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia mengeluarkan uang dari saku celananya kemudian menghitungnya sambil mengamati kembali label-label harga yang tertera. Matanya tertuju pada salah satu bola basket yang dipajang disana. Unik! Terjangkau. Walaupun barang lama. Pikirnya.
Tak ambil pusing, dengan segera ia mengambil bola basket yang ia suka kemudian menyerahkannya ke kasir. Setelah proses pembayaran usai, Vinka tidak langsung pulang kerumah. Seperti biasa ia datang ketaman tempat biasa ia bermain basket.
Ia mulai mendribling bolanya daaaannn shoot. Tiba-tiba ia menghentikan permainannya. Ia amati bola basketnya. Ia mendapati gambar sepasang mata disana.Tatapannya cool. Biarpun Cuma gambar. Like a real eyes! Teliti batinnya. Vinka semakin meneliti bola basketnya. Terpampang jelas tulisan bertinta hitam tebal pada bola basketnya. Ia mulai membacanya.
Hai ! gue Olav. Send me back.
Vinka semakin penasaran dengan sipenulisnya. Akhirnya Ia melakukankan ide gilanya. Ia kembali ke CPM. Setelah sampai kembali disana, ia beranikan diri meminjam spidol hitam permanen pada pramu niaga yang ada disana. Ia mulai menggambar sepasang matanya pada bola basketnya. Para pramu niaga terheran-heran dibuatnya. Kemudian Vinka mulai menulis dibawah tulisan yang diduga tulisan sipemilik asli bola basket yang baru ia beli.
Hai ! gue Vinka. Send me back.
Setelah selesai, Vinka memberikannya pada pramu niaga yang barusan meminjamkannya spidol.
“mba, gue titip ini ya. Tapi jangan dipajang. Kalo misalnya ada orang yang nanyain laku atau belumnya bola basket yang dia jual kesini. Mba Tanya namanya, kalo namanya Olav. Berarti bener, dia pemilik bola basket ini sebelumnya. Trus mba kasihin deh bola basket ini.” Jelas Vinka panjang lebar.
Pramu niaga itu hendak menolak. Namun Vinka sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk bicara. “please, mba. Jangan nolak. Udah ya mba, besok gue kesini lagi.” Ujar Vinka yang langsung pergi begitu saja.
*****