cerpen diary putri


“Hidup ini indah dan akan lebih indah bila kita bisa memiliki seseorang yang kita sayangi. Dan jika engkau merasakan cinta pada seseorang, katakanlah. Berani jujur dan jangan ragu mengungkapkannya. Tapi, jika tidak, ucapkanlah dengan tegas bahwa engkau tak menyukainya.”
Kata-kata yang selalu tertanam dan selalu terngiang di hatiku dan telingaku setelah aku bertemu dengan lelaki ini. Lelaki yang selalu menghiasi penuh hari-hariku. Ya… hari-hariku, dan mungkin bukan hari-harinya. Karena aku tak berani untuk sekedar menyapanya apalagi harus berbicara ataupun bercanda dengannya, aku hanya bisa melihatnya, berbicara, dan mendengar melalui mataku. Karena hanya dengan mataku, aku bisa melakukan semua hal itu. Hal yang selalu ingin aku rasakan meskipun hanya dalam mimpi sekalipun. Seandainya engkau tau aku sangat ingin mengobrol dan melihat senyummu yang mampu membuatku terpana secara langsung, secara nyata dari dekat. Kupejamkan mata dan mulai membayangkan gadis itu dan mulai kututup diaryku malam itu dalam pelukan hingga lelap dan pulas.



“Kringgg…. kriiinggg…. kriinnnggg…!!!”
Terdengar dering alarm yang setia membangunkan setiap hari-hariku (lagi).
Dengan berat dan perlahan kubuka mata yang terpejam ini. Dan mulai mencari-cari jam yang biasa kuletakkan di atas meja belajarku. Betapa kagetnya aku ketika melihat jarum jam sudah menunjukan pukul 07.00, yang berarti tepat 30 menit lagi adalah waktu jam pelajaran di sekolahku dimulai. Segera aku mempersiapkan diri dan bergegas untuk sampai ke sekolah.

“Putri… heh ngelamunin apaan sih?”
Tiba-tiba terdengar suara yang membuyarkan lamunanku tentang Lelaki itu. Ya… lelaki yang selalu mengitari ruang pikiranku selama ini. Anto. Dialah Lelaki yang selalu ada dalam fikiranku.
“hello…!!!”
Ketika aku menoleh dan melihat ke arah suara yang tiba-tiba saja sudah membuyarkan lamunanku. Winda. Dia adalah sahabatku di sekolah.
“Hmm… iya… kenapa?” Tanyaku gelagapan.
“Terus kenapa elo ngelamun, hayoo… ngelamunin apa?” Ujar winda menggodaku.
Aku duduk di depan kelas dan memandangi Lelaki itu.
“Ngeliatin siapa sih?” Tanya winda sambil mengernyitkan keningnya.
“enggak kok, gak ada apa-apa” Ucapku berusaha santai.
Aku adalah seseorang yang selalu tertutup dan selalu menyimpan sendiri perasaan maupun masalah yang ada pada diriku. Sulit bagiku untuk bisa menjadi seseorang yang terbuka dan bercerita terhadap orang lain. Aku lebih suka menyimpannya dan menyembunyikannya agar tidak ada yang tau tentang perasaan yang sedang aku hadapi sekarang. Aku lebih senang menjadi seonggok kaktus di padang pasir yang kesepian namun masih bisa bertahan hidup.
Sudah cukup lama aku menyimpan perasaan ini dan aku ingin menceritakan perasaan dan segala uneg-uneg yang ada pada diriku. Aku ingin mulai sekarang dan nanti untuk menceritakan ceritaku yang selalu aku pendam. Ya… cerita ini harus aku sampaikan kepadanya sebelum semuanya hancur dan terlambat kelak nantinya, dan aku tidak mau itu terjadi tentunya.
Dan sebelum aku menyampaikan perasaanku aku ingin meminta pendapat dari sahabatku dan berharap ia bisa memberi masukan kepadaku. Ya… winda sepertinya orang yang paling tepat, selain karena ia adalah sahabat terbaikku dan ia juga lebih berpengalaman dalam hal semacam ini dibandingkan dengan aku yang awam.
Kesokan harinya pada saat jam istirahat di sekolah.
“Win… aku boleh cerita sesuatu gak sama kamu?” Kataku berusaha tidak gugup.
“Ya boleh lah… lagian aku juga mau kasih tau kamu sesuatu” Ucapnya sangat sumringah dan kelihatan jika ia tampak sedang berbahagia.
“Ohh… ya udah kamu duluan aja deh win yang cerita” Ucapku sok-sokan.
“Oke yang pertama nilai ulanganku bagus dan aku dapet hadiah dari mamaku” Ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.
“Wahh bagus tuh, dapet traktiran nih kayaknya aku hari ini” Ucapku basa-basi. Ia berhenti melompat.
“Hmmm… Itu sih belum seberapa. Ada lagi yang buat aku lebih seneng. Mau tau gak put?” Ia pun makin menunjukan ekspresi bahagianya.
“Anto nembak aku put, kita udah jadian semalem. Yee..” Ucapnya girang lagi.
DEGG…
Hening. Bukan, bukan karena winda tak bersuara lagi, winda masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.
Mataku tak berkedip.
Apa benar yang baru kudengar?
Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.
“Kamu kenapa put? Gak seneng ya?” Ucap winda, yang menyadari sahabatnya tidak berekspresi apa-apa.
Aku hanya bisa menggeleng lemah. Nafasku sesak, seolah-olah paru-paruku tak terisi oksigen lagi. Namun aku membiarkan paru-paru sesak, aku lebih senang seperti ini. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.
“Put kamu kenapa? kamu gak lagi masuk angin kan?”
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Karena mungkin suaraku sudah hilang diambil Tuhan.
“Beneran put kamu nggak apa-apa? muka kamu pucet loh?”
Benarkah wajahku berubah pucat. Ohh mungkin karena aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.
“Aku anter kamu pulang aja deh ya? Traktirannya lain kali aja?” Ucapnya.
Kamu benar win, mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat.
Aku mengurung diri di kamar berharap semuanya bisa terlupakan dengan sesegera mungkin.
Seharian aku berdiam diri, seharian aku tidak bernafsu makan. Dan aku mulai lagi menulis diaryku untuk menuliskan cerita yang hanya aku sampaikan pada buku diary ini. Aku menuliskan. Mengapa aku harus mengaguminya? Mengapa aku harus mendengarkan sahabatku bercerita? Mengapa harus mereka yang aku kenal?.
Semua kejadian itu aku tuangkan dan aku curahkan pada diary kesayanganku. Karena hanya dengan diary inilah aku bisa sedikit lebih tenang. Dan akhirnya aku tertidur dan pulas.
Keesokan harinya aku mulai tidak betah memandangnya, karena aku melihat ia dengan orang lain yang punya keberanian untuk mendekatinya dan mengambil hatinya. Tidak seperti aku. Aku pengecut, aku tidak berani, aku selalu meragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku larut dalam kesendirian sampai aku lulus sekolah dan aku tidak bisa marah karena aku juga senang melihatnya bahagia dan andai Anto tau aku juga menyukainya.
Aku senang melihat senyumnya. Aku senang melihat tawanya. Aku senang ia bahagia.
1 tahun setelah lulus
“Kringgg…. Kring… Kringgg…”
Bukan, bukan dering alarm ternyata yang berbunyi tetapi suara hanphoneku yang berbunyi. Aku melirik jarum jam, yang ternyata masih menunjukkan pukul 06.00.
“Siapa sih pagi-pagi gini udah nelpon” Aku menggerutu sambil perlahan membuka mata.
“Halloo… bener ini dengan putri?” suaranya seperti tidak asing bagiku.
“Iya bener, ini saya sendiri. Maaf ini siapa ya?” Aku pun penasaran.
“Ini aku Anto, ini putri temennya winda kan?”
Aku kembali seperti tersambar petir. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku terdiam sejenak.
Mengapa?
Mengapa ia kembali?
Makhluk satu ini datang lagi.
Di saat aku aku sudah lupa dengannya atau bahkan melupakannya. Bukan melupakannya. Lebih tepatnya melupakan perasaan dan cerita yang pernah aku tulis dahulu.

0 comments:

Post a Comment