cerpen awan itu kamu

Hampir setiap pagi aku tak dapat melihat senyuman mentari. Awan hitam selalu sibuk untuk menutupi cahayanya. Membuatku harus menggunakan payung untuk melindungiku dari tusukan air yang berjatuhan dari langit. Kurasa langit mengerti keadaanku sekarang ini. Mendung. Hampir kehilangan cahaya.

Aku dan Roni semakin menjauh. Hubungan kami lebih renggang dari karet yang direndam minyak. Bahkan rasanya, semua yang dilakukannya untukku seperti menelepon, pergi ke mall denganku, hanya sebuah formalitas. Dia tak melakukannya dari hati lagi seperti dulu.

Hanya butuh beberapa langkah untukku bisa mencapai sekolah. Tak perlu diantar ataupun naik angkutan umum, aku sudah mencapai sekolah.

Sesampaiku di sekolah, pandanganku terpaku pada satu orang. Roni. Ia sangat jauh dari tempatku berpijak, hampir tertutup oleh orang-orang yang berlalu lalang mencari tempat untuk memarkirkan motornya.
Ku urungkan niatku untuk menyapanya segera setelah melihat ada seorang gadis yang menghampirinya. Hampir setiap hari aku melihatnya. Rambutnya tebal, lurus dan panjang sepinggul. Poninya selalu dijepit ke belakang, memperlihatkan wajah orientalnya yang cantik. Tingginya hampir sama denganku. Hanya beberapa inchi lebih unggul. Aku sering berpapasan dengan gadis yang hampir seperti anggota girlband korea itu.


Rasa takut, kesal dan curiga mulai menyerbu benakku. Aku menghela nafas. Mencoba menyapu perasaan yang menggangguku sejak beberapa bulan ini. Semenjak aku dan Roni naik kelas, hampir setiap saat ia selalu bersama Roni. Aku pun tak bisa selalu mengontrol Roni karena kami beda kelas.

Perasaan itu semakin besar ketika aku menyaksikan mereka bercanda dan tertawa. Rasanya sakit melihat ada perempuan yang bisa membuat Roni tertawa lepas seperti itu selain aku. Aku meremas payung yang sudah kulipat tadi. Mencoba melampiaskan semua perasaanku dan mencoba untuk menahan air mata yang sedari tadi meminta untuk dikeluarkan.
Roni masih milikku. Tak bisakah ia mengerti itu? Apa Roni tak ingat denganku? Aku mencoba untuk bersikap dewasa dengan tidak mempermasalahkan hal sekecil ini. Aku yakin ini hanya akan menjadi hal kecil dalam hubungan kami. Bukan hal besar yang harus aku takutkan. Apa yang kita yakini, pasti terjadi kan?

Aku terus mengikuti mereka dari belakang. Beberapa meter di belakangnya. Mencoba untuk tetap tak teraba ataupun terlihat. Entah apa yang mereka bicarakan, pasti itu adalah hal serius. Melihat dari ekspresi Roni yang sesekali melihat ke belakang. Was-was.

Roni tetap berdiri di depan kelas. Sementara perempuan itu berdiri tepat di ambang pintu kelas mereka. Setelah sedikit beradu argumentasi dengan Roni, perempuan itu masuk, sementara Roni tetap di luar. Mau tak mau, aku harus melewatinya karena kelasku berada di sebelah kelas Roni.

Memang biasanya setiap pagi, ia selalu menungguku di depan kelas. Tapi entah kenapa, kali ini aku sangat berharap ia tidak ada disana. Menungguku. Sejurus kemudian, ia langsung melambaikan tangan padaku, menyadari keberadaanku.
“Kamu bengong disitu, kayak patung,” Roni mendekat ke tempatku berdiri dengan wajah keheranan. “sejak kapan disini?”
Otot-ototku terasa menegang. Rasanya sudah berliter-liter keringat kukeluarkan di pagi yang dingin ini. Aku menarik nafas dan menjaga agar suaraku tidak gemetar karena bingung harus menjawab apa. “Baru aja.” Jawabku singkat.
“Yakin?” wajah Roni tampak heran. Dibalik saku bajunya, ada getar dan lampu yang menyala. Ada sms. Sesegera mungkin, Roni membukanya, lalu membacanya. Roni menyernyitkan keningnya sambil membalas sms itu. “Oh iya, aku mau ngomong.”
Sekelibat rasa yang sedari tadi mengangguku, kembali bermunculan. Aku berusaha tetap melihat pada matanya, tapi rasanya mataku tak sanggup. Mata yang tidak lagi memancarkan cinta. Mata yang selalu kutatap akhir-akhir ini.
“Ngomong aja.” Sebisa mungkin aku bersikap cuek. Seolah-olah ini tidak memberikan pengaruh besar terhadapku. Nyatanya, ini merupakan segalanya. Perubahan kecil darinya saja sudah membuatku hancur apalagi harus melihatnya tertawa lepas dengan gadis lain di depanku?
Roni tampak gugup. Suaranya parau ketika berkata, “kita putus ya?” kata-kata yang membuat air mataku semakin menuntut untuk keluar. Tapi entah kenapa, ketika aku sudah ikhlas untuk mengeluarkannya, air mata itu tak mau keluar. Seperti mengendap di hati, dan menggenangi kenangan-kenangan indahku bersama Roni. Kini yang berpijak di hati hanyalah kenangan pahit.
Mungkin ekspresi wajahku sudah cukup memberi tahu Roni, bahwa aku bertanya “kenapa?”. Roni memasukkan handphone kesakunya, yang sedari tadi dipegang olehnya. Ia memegang bahuku dan sedikit menunduk untuk menyamakan tinggiku.
“Aku gak mau menutupi apa yang seharusnya aku buka. Aku gak mau bohong sama kamu, karena aku udah janji. Kamu juga mau hubungan yang terbuka kan?” kata-kata Roni yang terakhir membuatku tersenyum pilu. Aku yang menginginkannya, maka aku yang harus menjalaninya. “Aku sayang sama orang lain, Nit. Namanya Dina, teman sekelasku.”
Rasanya aku sudah tak kuat untuk berdiri, bahkan untuk bernafas. Semuanya runtuh. Harapanku bersamanya, mimpi-miimpi kami, ikut luntur bersama dengan kata-katanya. Aku tak bisa menyalahkannya. Perasaan datang karena terbiasa, dan aku mencoba mengerti itu. Tapi semakin aku mencoba untuk mengerti, semakin sulit rasanya untuk berdiri dihadapannya. Andai dia megerti itu.
“Aku paham.” Kubiarkan suaraku gemetar. Aku tak mencoba untuk menahannya lagi.
“Maaf, Nit. Dan makasih banyak udah ngertiin aku selama ini.” Roni memelukku dengan erat sebelum akhirnya menghampiri perempuan berwajah oriental itu — Dina — yang ternyata, sedaritadi berdiri di depan kelas, memperhatikan kami.
Dina tersenyum puas padaku. Tapi matanya sedikit memancarkan rasa kasihan dan rasa bersalah. Aku mencoba membalas senyumannya walaupun rasanya sulit untuk tersenyum saat ini. Tapi aku akan tersenyum saat ini. Karena ini adalah awal dari bab kehidupanku yang baru. Aku takkan memulai bab tanpa tersenyum. Dan walaupun awan gelap selalu berusaha menutupi matahari, pada akhirnya akan menyerah dengan cahayanya yang lembut. Akupun memberanikan diri untuk melangkah maju. Melewati mereka berdua, melewati awan yang ada

0 comments:

Post a Comment