cerpen Unrequited Love

Aku sedang berjalan di antara kerumunan siswa-siswa lain yang ingin mengetahui bahwa mereka lulus atau tidak. Tahun ini aku sudah akan lulus dari sekolah menengah pertama. Dan saat ini adalah saat-saat menegangkan, dimana aku akan melihat hasil ujian di papan pengumuman. “Hey dev, gue lulus! Lo?”. Aku menengok ke belakang melihat temannya itu dan kemudian kembali mengamati papan pengumuman yang ada di depanku. – Devi Winata : LULUS -. “Tha.. gue juga lulus”. “wah slamat ya”. “iya tha sama-sama”. Sambil memeluk thalita yaitu sahabatku dari kecil, kemudian aku menangis dan berkata “papa dipindah tugas ke SulTeng”. Thalita menatapku “maksudnya lo bakal lanjutin SMA disana”. “ya kurang lebih kaya gitu”. “Kapan berangkat? Take care ya non”. “rencananya besok, iya calling-calling ya tha”. “iya sip”.


Aku sangat senang punya orangtua seperti papa dan mama. Papa punya pekerjaan yang penghasilannya di atas rata-rata dan mama adalah ibu rumah tangga. Papa dan mama masih sangat muda, bayangkan saja di saat aku berumur 14 tahun sekarang ini, mama dan papa masih sama-sama berumur 29 tahun. Aneh kan? Ya iya lah.. karena aku adalah anak angkat mereka. Mereka mengadopsiku saat mereka baru selesai menikah pada umur 22 tahun dan saat itu aku baru berumur 7 tahun. Mereka begitu menyayangiku seperti anak kandung mereka dan begitu juga denganku.

Sudah tujuh tahun menikah, mama tak juga hamil. Aku pernah tanya namun mama hanya menangis dan berkata “itulah sebabnya papa begitu mencintaimu dan mama begitu melindungimu”. Sedangkan orangtua kandungku meninggal saat aku berumur 5 tahun. Selama itu aku tinggal di rumah tante Desi, adik kandung mama dan juga rekan mama dan papaku sekarang. Awalnya aku sangat tidak setuju, namun aku memang sudah akrab dengan mereka berdua sebelum menjadi mama papaku, jadi mudah saja membujukku.

Tapi sebuah sisi negatif dari pekerjaan papa adalah papa selalu dipindah tugaskan kesana kemari. Dengar-dengar kabar, katanya SulTeng sangat jauh berbeda dengan Jakarta. Tapi aku tak mau ambil pusing, tinggal lihat saja nantinya.
“clara.. cepetan dong! Papa udah nungguin nih, entar kamu telat loh”. Aku bergegas memasukan peralatan MOSku dalam tas. “iya ma, bilangin papa entar lagi”. Aku buru-buru turun dan mama sedang membereskan sarapan. Untung disini tak pernah macet seperti jakarta, jadi tak perlu panik kalau telat. “mama… clara berangkat ya, makannya di sekolahan aja.. buru-buru nih”. “clara.. nih makan di mobil aja”. Mama memberikanku sebuah roti isi. Aku didaftarkan di sebuah sekolah unggulan di Palu (baru ku tau kalau Sulteng tempat ku berada adalah Palu). “Entar jangan bandel di sekolah, mama yang bakalan jemput entar”. Papa mengacak-acak rambutku yang kubuat agak aneh kali ini, karena aturan MOS yang mengharuskanku mengikat rambut sesuai umur.

“ingat pesan papa”. Papa mencium keningku, “jangan bandel kan pa? Sip bos” ku acungkan jempolku di sebelah pipiku. Aku menatap sekolah baruku, sekolahnya lumayan. Saatnya mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Sungguh susah beradaptasi dengan teman-temanku disini, karena dari cara bicara saja aku sangat bingung mendengarnya.

Tiga hari menjani masa orientasi, akhirnya aku bisa bebas dari kakak kelas dan bisa menemukan teman baru. Saat Mos berlangsung, aku sering dikerjai kakak kelas karena bahasaku yang masih “lo gue end”. Apalagi kakak kelas yang bernama Gio, dia selalu membuatku marah. Dan kak gio tidak sendiri mengerjaiku, dia selalu bersama kak Puput dan kak Randy. Sungguh hari-hari yang menyebalkan.

“Hey ra, kemana kau?”. “Mau ke perpus nin”. “ikut ya”. Nina adalah temanku saat pertama kali kelas kami dibagikan. Aku berjalan bersamanya menuju perpustakaan. “eh lo gue end lewat” kukenali suara itu adalah suara kak gio, dan rupanya dia tak henti-hentinya mengejekku. Aku tak memperdulikannya dan dia mengikutiku ke perpustakaan. Saat aku sedang membaca novel di lantai perpustakaan, dia duduk di sebelahku dan menanyakan nomor teleponku. Ternyata selama ini dia mengerjaiku karena tertarik padaku, huh dasar.

Saat jalan-jalan dengan papa di Mall aku bertemu beberapa teman sekelasku dan beberapa juga kakak kelas. Mereka sesekali melirik ke arah papa ketika sedang makan di KFC. Mungkin karena melihat papa yang memang sangat tampan. Sehingga saat bertemu dengan mereka di sekolah keesokan harinya, banyak yang bertanya-tanya siapa cowok yang jalan denganku kemarin dan pada saat aku bilang dia adalah papaku, mereka gak percaya padaku. Dan satu pertanyaan yang membuatku merasa geli sendiri “clara.. kau sudah punya pacar? Kenapa kau tak bilang-bilang? Sakit hati saya”. Heh? Ngapain coba kak gio pake ngomong sakit hati segala, memang kita pernah jadian. Setelah kujelaskan dia sempat tak percaya, namun aku mencoba menjelaskan dan menunjukan foto-foto yang ada di handphoneku barulah dia percaya.

“Clara.. ada yang nyariin kamu tuh”. “siapa sih pa?”. Sambil berjalan menuju ruang tamu aku mencari-ccari sosok papa yang memanggilku. “Eh kamu, ngapain?”. “aku kan pengen kenalan sama papa mama kamu!”. “ihh.. kamu udah bisa ngikutin bahasa aku ya? Belajar dari mana tuh?”. “gak tau ya ra, aku kan emang dari jakarta juga, cuman mama emang orang sini.. tapi tiap liburan ke jakarta juga kok sama orangtua papa”. “oh gitu.. syukur deh! Biar aku tak susah bicaranya”. Tiba-tiba papa datang membawakan minuman dan cemilan, “non.. makanannya nih”. “ih.. papa bikin malu aja, sana-sana-sana”. “aduh putri papa malu-malu”. “papa…”. papa pergi meninggalkanku yang merona karena malu bersama kak gio. “mamanya kemana?”. “oh mama ya.. mama lagi ke dokter tadi katanya, biasa ibu-ibu”. “trus kenapa papanya gak nganterin?”. “kan lagi jagain aku..”. kataku polos, tak sadar kak gio melihatku terheran-heran. “udah besar gini masih dijagain?”. “emang siapa yang mau dijagain? Mama sama papa tuh yang gak bisa jauh-jauh dari aku”. Kemudian papa menjawab dari ruang keluarga “papa denger nih”. “papa nguping nih”. Aku berteriak pada papa. “Lucu banget ya kamu sama keluargamu, seru”. Kami berbincang-bincang sampai mama pulang, dan kak gio kaget melihat mama yang masih muda dan cantik.

“sayang.. yang tadi siang itu pacar kamu ya?”. “mama apaan sih? Emang gak boleh ada temen cowok yang datang selain pacar aku ya?”. “ya enggak.. kayanya dekat gitu, anaknya juga keliatan baik. Bener gak pa?”. papa yang sedang sibuk dengan daging kepiting yang ada di depannya kemudian melirik mama yang sedang main mata pada papa “iya.. kelihatannya bertanggung jawab”. “gak penting ahhh”. Mama dan papa tertawa bersama-sama melihat anaknya yang salting kemudian menjulurkan lidah mereka bersama-sama pula, ihh kayak anak SD aja bikin ilfil. Dasar mama sama papa emang gila.

Sejak kedatangan kak gio di rumahku waktu itu, aku semakin dekat dengannya dan orangtuaku juga tak melarang jika dia yang mengajakku keluar. Tapi aku menyukai kakak kelasku yang bernama edo, sejak MOS aku memang selalu meliriknya. Aku menganggap kak gio hanya seperti kakakku, karena kelihatannya mama dan papa juga menyukainya. Aku memang menyayangi kak gio namun aku mencintai kak edo.

Aku berhenti di depan loker kak edo, entah apa yang kupikirkan. Aku terdiam disitu cukup lama, sampai seseorang datang padaku “menghayal?”. “ehh.. iya.. eh gak kok cuman lagi ngehafal rumus fisika”. “oh..” kemudian dia meninggalkanku yang terpana saat itu. Mulai saat itu aku berpikir aku bisa dekat dengannya.

“Gio.. tungguin”. Kak gio yang baru saja naik di atas motornya yang besar itu melihatku dan menaruh kembali helmnya. “kenapa lo gue end?”. “anterin pulang ya, mama lagi sibuk katanya”. “boleh-boleh aja, asalkan ini dulu”. Dia menunjuk pipinya, menyuruhku untuk mencium pipinya. “gak mau ahh.. tungguin papa jemput aja kalo gitu”. Aku menelepon papa, dan katanya tunggu sebentar aja. Aku duduk di parkiran saat itu, kak gio menghampiriku dan menempelkan minuman dingin yang dia bawa di pipiku. “minum nih”. aku mengambil minuman itu dan segera kuminum karena memang dari tadi aku sudah haus berat. “gak pulang?”. “dikit lagi deh, nungguin kamu pulang”. Dasar sok kenal sok dekat, tapi emang gitu sih hehehe. Aku terpaku sesaat melihat kak edo lewat dengan motor yang sama besarnya dengan milik kak gio. Biiiip… dia mengklakson pada kami. “kamu denger gak? Dia nglakson aku, berarti dia kenal dong sama aku”. “dasar ge-er, dia temen sekelas aku”. “ya… kenalin dong”. “kamu suka sama dia ya?”. “iya.. naksir berat malah, udah dari pertama masuk sini kali aku naksirnya”. “aku coba ya”. Aku melihat ada sedikit kekecewaan yang terlukis di wajahnya, aku sedih melihat itu. Namun aku kan hanya mencoba jujur padanya. Setelah perbincangan itu kami hanya terus diam sampai papa tiba di sekolah.

Kak gio menepati janjinya padaku, dia benar-benar mengenalkanku pada kak edo. Kak edo baik plus pinter. Dia juga pernah datang ke rumah sekali dan papa mama juga menyukainya, tapi kata mereka kak gio yang lebih baik. Aku berkencan dengan kak edo, dia menembakku tapi aku minta sedikit waktu berpikir. Setelah itu aku langsung menelepon kak gio, aku meminta pendapatnya. Dan aku mendapat jawaban seperti ini “aku juga mencintaimu, tapi aku rela asalkan kau bahagia bersamanya, tut.. tut..tut..” telepon diputuskan. Mendengar pernyataan dari jawabannya itu, aku sangat yakin bahwa dia benar-benar mencintaiku dan aku yakin dia tak rela karena dia masih menggunakan kata “ASALKAN”. Jika dia memang rela, apapun yang terjadi padaku entah bahagia atau menderita dia tak akan peduli lagi. Namun dari kata-katanya dia menuntut agar aku bahagia.

Aku pusing dan tak bisa tidur. Aku pergi ke kamar mama dan papa. “papa.. mama.. papa.. mama…”. “iya sayang, masuk”. Aku langsung terjun ke springbed mereka dan aku mengambil posisi di tengah mama dan papa. Papa sedang sibuk dengan laptopnya, sedangkan mama sedang membaca majalah “clara mau cerita nih!”. “iya sayang, kenapa?”. Mama dan papa meninggalkan aktivitas masing-masing dan mulai mendengarkan ceritaku. Mama dan papa bilang kalau aku harus mendengarkan kata hatiku, daripada nantinya aku menyesal. Dan malam ini aku mendengar sebuah kabar yang menyedihkan. Papa dan mama akhirnya menceritakan semua rahasia yang telah lama terpendam. Aku memang benar-benar anak papa, mama kandungku hamil dengan papaku yang sekarang, saat itu papa beerumur 17 tahun dan mama memang sedang kuliah. Sedangkan mamaku yang sekarang memang tak bisa hamil karena ada kista di dalam rahimnya. Itulah arti dibalik kata “PAPA MENCINTAIKU DAN MAMA MENJAGAKU”. Papa mencintaiku karena aku benar-benar adalah anaknya dan mama selalu menjagaku karena mama tak akan pernah bisa merasakan menjaga seorang anak dari kandungannya sendiri. Dan satu lagi kabar yang berbeda, satu minggu lagi kami akan pindah lagi di Balikpapan.

Aku memutuskan untuk belum menerima kak edo. Karena aku ingin memperbaiki hubungan dan meminta penjelasan dari kak gio. Tapi apa daya dia tak lagi menghiraukanku seperti kemarin-kemarin. Bahkan kedua sahabatnya juga tak mau menegurku. Aku merasa kehilangan dihari-hari terakhirku di Palu. Papa dan mama heran melihat sikapku yang aneh akhir-akhir ini di rumah. Dan akhirnya satu hari lagi aku akan pindah, aku merengek pada mama dan papa untuk menelepon kak gio. Dan akhirnya kudengar kabar bahwa kak gio sudah berangkat ke jakarta tadi siang, katanya akan sekolah disana. Aku meneleponnya dan menangis, aku hanya meminta penjelasan dibalik kata “ASALKAN” yang waktu itu dia ucapkan. Dan akhirnya dia bilang “Jaga dirimu baik-baik”.

Setelah dua tahun lamanya kami tinggal di balikpapan, mama meninggal disana. Papa begitu terpukul begitu pula denganku. Terkadang saat papa merindukan mama, papa selalu menangis dan memelukku. Aku dan papa akhirnya pulang ke jakarta. Sekarang aku sudah mau masuk kuliah. Aku memilih UI jurusan kedokteran, karena aku ingin menyembuhkan orang yang punya penyakit seperti mama. Saat pertama masuk kuliah, inilah yang aku tak suka yaitu OSPEK. Aku malas dan malu. Nama-nama kami juga begitu aneh dan aku diberi nama lo gue end, nama yang mengingatkanku akan seseorang yang tanpa kusadari aku mencintainya dalam waktu yang lama.

Pagi ini, seperti biasanya aku diantarkan papa untuk mengikuti OSPEK. Enaknya saat OSPEK tahun ini, senior-senior perempuan menaruh perhatian lebih padaku karena aku punya papa yang keren dan tampan. Tapi tidak begitu dengan senior laki-laki, mereka begitu menyiksaku.

“Lo gue end ikut gue”. Jantungku seperti berhenti berdetak saat namaku dipanggil, bukan karena namanya melainkan karena suara yang memanggilku. Aku begitu mengenal suara itu, ternyata dia kuliah disini satu jurusan denganku. Aku mengikutinya, ternyata tempat itu hanya ada aku, dia dan beberapa orang numpang lewat. Dia hanya duduk dan diam, sedangkan aku hanya menunduk. Aku takut dia akan menyakitiku, mengingat aku sudah menyakitinya dulu. “Lo jahat!”. Aku menatap matanya, dia tertawa sinis. “maksudnya?”. “udah lama gue gak liat lo, lo gak berubah setitikpun di mata gue”. “trus kenapa gue jahat?”. “waktu lo telfon gue terakhir kali, gue sempat pulang kesana besoknya, eh.. ternyata lo udah ninggalin gue. Lo jahat tau”. “maafin gue gio”. Lama dia terdiam di hadapanku, dia seperti sedang mempertimbangkan permintaan maafku. “gini aja, karena sekarang gue senior lo.. gue mau nyuruh lo nyari 50 tanda tangan senior untuk gue maafin lo, stuju?”. Aku yang selalu nekat, menerima tantangan tersebut.

Kucari 50 tanda tangan tersebut, tapi sudah jam 04.30 sore aku baru mengumpulkan 40 tanda tangan. Tinggal 10.. semangat!, batinku. Aku melihat papa sudah datang menjemput, papa sedang berbincang dengan kak gio. Dan seperti yang kulihat mereka menertawakanku. Kini sudah jam 05.00 dan sudah 49 tanda tangan. Berarti tinggal satu tanda tangan, tapi siapa ya?. Aku meminta daftar senior, ada 50 orang memang pada jurusanku. Kubaca satu persatu, ternyata tinggal tanda tangan gio yang belum kuminta. Aku segera mencarinya “nih tinggal tanda tangan lo tau! Eh papa mana?”. “tinggal gue ya? Papa lo udah pulang tadi, katanya entar gue yang anterin lo”. “tanda tangan deh cepetan”. “tinta gue abis”. “duh penannya gue tinggal dimana ya”. Saat sedang sibuk mencari, kak gio memelukku dari belakang. “gue maafin lo, lain kali hargai perasaan gue ya, sayang tau!”. Ku balas pelukannya “mau tanya boleh? Arti kata asalkan yang dulu apaan ya?”. “tandanya gue care sama lo”. “oh.. mau nanya lagi boleh?”. “boleh.. apaan emangnya?”. “meluk-meluk aku gini udah minta izin papa belum?”. “hahahaha.. harus ya? Gue telfon skarang deh”. Aku mencubit pinggangnya “eh jangan cari gara-gara sama papa ya, entar langsung dinikahin baru tau rasa”. “Nikah juga ga apa-apa kok”. Aku tertawa bersamanya saat itu, lucu juga cerita cintaku yang plin-plan.

0 comments:

Post a Comment