cerpen My sun flowers is you

Matahari mulai bergerak turun menuju tempatnya beristirahat. Ia mulai menyisakan cahaya-cahaya indah di langit bekas jejaknya. Menjadikan sore itu panorama indah yang biasa kulihat akhir-akhir ini.
I Want You.. I need You.. I Love you.. ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk dari kekasihku, Vidrianta. Ya nada heavy rotation itu memang sengaja ku pasang hanya untuknya.
“Ara, anak anak minta kumpul ada yang mau dibicarakan” Kata laki-laki di sebrang sana.
“eh? Kapan?” tanyaku.
“sore ini, jam 4” jawab laki-laki itu.
“bisa, bisa dimana?” tanyaku lagi.
“di tempat biasa kita kumpul honey” katanya ramah.



“oh, iya iya mau menjemput?” aku memastikan.
“pasti” jawabnya mantap.
“hihihi, makasih honey, ya sudah aku siap-siap dulu ya” kataku.
“iya honey bye bye” lalu ia menutup sambungannya.

Akupun bersiap siap. Aku memakai baju terusan selutut warna hitam dengan titik-titik putih dengan pita putih di bagian pinggang. Kugunakan syal merah pemberian nenekku padaku 2 tahun lalu. Dengan pakai stocking panjang warna transparan dan sepatu tinggi hingga lutut warna senada dengan syal-ku, akupun siap berangkat.

Jarum pendek di jam tangan merah yang melingkar manis di tanganku mulai menunjukan angka 4 itu tandanya Vidrianta akan datang menjemputku. setelah memeriksa lagi barang bawaanku akupun mengambil tas slempang kecil kesayanganku di kasur.
Tin.. tin..tin.. klakson mobil pun terdengar dari arah luar rumahku. “Ara, ada Vidrianta tuh, katanya mau menjemputmu.” Kata mama memberitahuku dengan nada sedikit jahil. “iya ma, ini juga udah selesai kok” kataku seraya menuruni tangga. “hem, cantik banget sih putri mama ini? Mau kemana sih sayang?” tanya mama. “biasa mah anak-anak minta ketemuan di cafe.” Jawabku sambil memeriksa barang-barang yang ada di tas ku. “oh, mama kira kalian mau kencan lagi, haha” tawa mama. Mama, memang sudah mengizinkan tentang hubunganku dengan Vidrianta, katanya asal tidak melakukan yang aneh-aneh kami masih diizinkan, lagipula orang tuaku dan orang tua Vidrianta sudah lama kenal. “ah, mama bisa saja.” Kurasakan mukaku mulai memerah. “hahaha mukamu merah tuh, hihihi” ledek mama. “ah, mama ini, ya sudah aku sama Vidrianta pergi dulu ya mom, muah bye” kataku, sambil mencium punggung tangan mama. “iya hati-hati ya sayang, Vidri, tante titip putri cantik tante yang satu itu ya” pesan mama pada Vidri. “siap tante” kata Vidri sambil hormat lalu mencium punggung tangan mama.

Vidri memakai kaos putih dan jaket hitam. Ya, karena sekarang memang sudah memasuki musim dingin. Ia memakai celana jeans hitam dan sepatu snekears senada yang membuatnya semakin cool.
Setelah pamit pada mom, aku dan Vidrianta pun pergi menuju lokasi. “honey, memang ada apa sih? Kok anak-anak tiba-tiba ngajakin ketemuan gini?” tanyaku memecah kesunyian yang dari tadi memeluk erat kami. “eh? Gak tau deh tadi aku juga di kasih tau sama ka Mukti, katanya sih yang dateng cuma ka Mukti, Mba Tias sama Lusi.” Jawabnya. “oh, mungkin mereka ingin membicarakan tentang rencana liburan kita kali ini?” tebak ku asal. “haha mungkin kau benar.” Kata Vidri gemas sambil mengacak-ngacak rambutku yang kuurai lepas. “hey, kamu ini, rambutku sudah kurapihkan tau,” kataku sambil menata kembali rambutku dengan cemberut menghias wajah polosku. “habis, aku suka melihatmu marah seperti itu, itu membuatku gemas padamu, kau tau? Hahaha” kali ini ia menyubit pipiku dengan tangan kirinya. “aaww… ish kau ini” aku menggumam, terlihat Vidri hanya menyeringai dan tertawa kecil.
Kami melewati perjalanan ini dengan canda tawa kami. Awalnya aku dan Vidri memang sudah bersahabat sampai saat itu…


Flashback ~
Aku dan Vidri sedang berada di dalam perpustakaan sekolah. Seperti biasa ia mengajariku tentang pelajaran matematika. aku memang lemah dalam matematika. Vidri memang selalu sabar untuk mengajariku matematika. lama-kelamaan akupun menaruh perasaan padanya.
“okey, sampai mana kita kemarin?” tanyanya. “eh? Entahalah aku lupa, hehehe” kataku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. “aish, kau ini masih muda ra, masa iya segampang itu kau melupakan sesuatu, dasar pikun,” kata Vidri sambil mulai membuka buku tebal berjudul matematika yang asing bagiku. “ah, kau ini seperti baru mengenalku saja,” kataku tersenyum innocent. “ha~ ya ya ya. Ya sudah mulai ya,” kata Vidri mengalah padaku. Aku hanya bisa tersenyum kemengangan.

Setelah dua jam belajar bersama Vidri. Aku dan Vidri-pun bersiap-siap pulang. “Ra, aku kebelet bisakah kau menungguku sebentar?” katanya sambil membekap selangkangannya. “yayaya, kau ini tapi, cepatlah sebentar lagi hujan turun.”
Setelah Vidri pergi ke toilet, gerimis pun mulai turun membasahi bumi. “tuh kan hujan” kataku melihat keluar jendela. Pikiranku kosong entah apa yang sedang ku fikirkan, aku tenang memandang langit yang sedang menangis.
“yahh, hujan ya? Apa aku selama itu?” Vidri datang dengan pertanyaan yang banyak. “sttt… diamlah, aku sedang menikmati hujan ini, lihatlah. Menenangkan sekali bukan?” aku tak mendengar apa-apa lagi dari mulut Vidri. Saat kulihat ia sudah ada didampingku ikut hanyut dalam suasana hujan sore ini, ia menutup mata, menghadap jendela. Aku melihat laki-laki ini sangat tenang. Wajahnya sangat tampan dari samping.
1 menit… 2 menit.. 3 menit..
Entah sudah kemenit berapa aku menatap wajah plum Vidri. Terasa aku menggigil. “Vidri, hujan tidak berhenti, gimana ini? Sudah hampir jam 6 sore.” aku kembali menatap jendela seakan-akan aku memang melihat jendela dari tadi. “ah~ bagaimana kalau kita menginap semalam disini?” katanya mengusulkan hal bodoh itu dengan mukan Innocent. “apa kau gila?” kataku tersentak. “hahaha.. lagian, bukankah di sekolah ini Cuma ada kita? Kita mau pinjam payung ke siapa?” katanya.” bagaimana kalau kita hujan-hujanan.” Kini aku yang mengusulkan hal bodoh. “bagaimana dengan buku kita? Aku tak mau kalau sampai buku matematikaku hancur karena kita main hujan hujanan.” Katanya sambil menunjuk ke arah tas kami yang masih tergeletak rapi, di atas meja. “ha~ segitu cintanya kah kau pada matematika? ya sudah, gini aja. Kau masih ada tas di rumah kan?” tanyaku. “masih sih,” katanya, ada raut muka tak mengerti di wajahnya. “ya sudah, sekarang keluarkan semua buku buku yang ada di tas kita.” Titahku sambil mulai membuka tas, dan mengeluarkan semua isinya. Kulihat Vidri pun melakukan hal yang sama. “lalu?” tanyanya polos. “nah, ayo sekarang kita taruh buku kita di loker bawah meja kelas.” Kataku sambil menjinjing semua barang barang yang kukeluarkan tadi. “oh~ aku mengerti,” kata Vidri mengangguk.

Setelah aku dan Vidri menaruh semua barang-barang, kamipun keluar. “kau sidah siap?” tanyaku. “tentu saja, dalam hitungan ketiga ya?” katanya sambil mengambil ancang-ancang. “oke 1… 2… 3!” kataku lalu berlari sekuat yang aku mampu. Setelah sampai gerbang sekolah kami mengatur nafas kami. “ha~ cukup melelahkan.” Kataku. “hahah iya.” Kata Vidri tertawa lepas. “lanjut?” tanyanya. “ayo lanjut, tapi bisakah kita tidak berlari?” tanyaku. “okey okey.” Katanya.
Jarak rumah kami hanya beberapa kilometer dari sekolah. Sedangkan rumah Vidri hanya beberapa block dari rumahku. Di tengah jalan kami mengobrol tetang banyak hal.
“Vidri, bolehkah aku bertanya?” tanyaku ragu. “boleh, tapi satu pertanyaan 5 ribu ya? Hahah” katanya bercanda. “ish, aku serius Vi,” kataku mencubit lengannya. “aw, iya iya, mau tanya apa sih?” katanya. “kau kan tampan, pintar, baik kenapa tak punya pacar? Padahal kan banyak wanita yang mengantri demi menjadi pacarmu.” Tanyaku. “segitu perfectnya kah diriku?” Vidri bertanya balik. “ck, vi…” aku menatapnya bertanda aku memang serius bertanya. “yayayay, akan kujawab. Aku sebenarnya punya perempuan yang aku sukai, dia sangat mengerti aku,” ada rasa perih, sangat perih di hatiku saat Vidri mengatakan itu. “oh ya? Lalu, kenapa? Ada masalah kah? Sampai kau berani nembak?” tanyaku memaksakan seperti berantusias. Padahal kau tau? Aku menangis diderasnya hujan sore menjelang malam ini. “ehm, entahlah, aku sangat ingin memilikinya, tapi kurasa wanita itu tak menyadari kalau aku menyukainya. Selalu saja dia yang membuatku tertawa karena tingkah konyolnya.” Katanya menerawang jauh ke atas langit yang mulai berubah gelap. “ngomong-ngomong siapa sih wanita itu?” penasaranku memuncak. Vidri terdiam, lalu ia melirikku dengan tatapan datar, “ikut aku,” Vidri menarik tanganku sambil berlari. Kakiku yang mulai lelah ini pun terpaksa ikut berlari.

Aku dibawa ke suatu tempat, dalam keadaan masih dalam hujan, hujan di kota kami memang terkenal karena lamanya, hujan di kota kami bisa 4 jam sampai 5 jam nonstop. Tempat ini adalah padang rumput luas, yang penuh dengan berbagai bunga. Ini adalah tempat favoritku dan Vidri sejak kecil, “ah~ sudah lama ya kita tidak kesini?” tanya ku berbaring di atas rumput. “ya, kukira kau sudah lupa akan tempat ini,” kata Vidri duduk memeluk lutut sambil memandangi rinai hujan yang turun malam ini. Aku pun ikut duduk di sampingnya. “ada apa kau membawaku kemari?” tanyaku masih penasaran akan maksudnya membawaku ke tempat ini.
“wanita itu, seperti bunga matahari. Walaupun malam, ia tetap bisa bersinar, dimanapun dia, aku berdo’a semoga Tuhan tidak membuat dia layu,” dia mulai bercerita, aku paham ia ingin aku mendengarkan apa yang ia ungkapkan. “senyumnya membuatku selalu ingin membuat lengkung di bibirnya itu, tatapan hangatnya itu, serasa ingin kumiliki sendiri, aku tak tau apakah ia mempunyai rasa yang sama atau tidak padaku,” lanjutnya. Sebenarnya siapa yang kau maksud? Diriku kah? Tapi, mungkin bukan, aku memang bukan bunga mataharimu itu. Aku tak sesempurna yang kau bicarakan, kelak jika wanita itu sudah memilikimu, semoga kau bahagia bersamanya. Batinku.

“tau kah kau ra? Dia sangat manis, saat ia melempar poninya ke samping dia begitu mempesona diriku. Walaupun aku sering bersikap cuek padanya, padahal dalam hatiku aku berdebar saat aku bersamanya,” aku bergeming “bunga mataharimu itu sangat perfect di matamu ya..” kataku terputus saat Vidri berkata. “dirimu,” katanya cepat. “ha? Apa? Diriku?” aku heran. “ya, bunga matahariku itu dirimu, yang selalu bersinar walau di malam hari dan senyum dan tatapan mu yang selalu ingin kumiliki sendiri.” Aku masih terdiam tak bisa berkata-kata lagi, perasaan apakah ini? Senang? Sedih atau apa?. Aku masih terdiam saat Vidri pergi untuk mengambil sepucuk mawar. “SunFlower, would you be my Girlfriend?” aku dituntun untuk berdiri sedangkan Vidri berlutut di hadapanku. Aku hanya bisa mengangguk dengan lembut. Seketika Vidri berdiri dan melompat kegirangan. Lalu dia memelukku dengan hangat, biarkan lah hujan di malam ini menjadi saksi bisu pertemuan dua hati yang menyatu.

Setelah lama kami berdiam diri di bawah pohon, aku menggigil. “Ra? Kau tak apa-apa? Kau panas,” kata Vidri memegang dahiku. “tak apa kok, kau juga panas.” Kataku. “ya sudah ayo kita pulang ini sudah jam setengah delapan malam,” katanya sambil melirik jam tangan hitam kesanyangannya. “ya sudah ayo.”

Kamipun berlari-lari kecil beruntung hujan sudah berganti menjadi gerimis. Setelah sampai di depan rumahku. Mama yang membukakan pintu untukku. “ya ampun Ara, kamu dari mana kok jam segini baru pulang? Eh, ada Vidri ayo masuk dulu Vi, hangatkan diri kalian dulu, nanti urusan orang tua kamu tante yang urus” kata mama agak bawel. “iya tante, makasih” kata Vidri melepas sepatunya dan masuk.

“Vidri, disini masih ada baju mu yang ketinggalan waktu itu, kau pakai itu dulu ya?” kata mama. Ya memang waktu itu Vidri pernah menginap disini. Sudah kukatakan kan? Aku dan Vidri sahabat sejak kecil?. “iya tante,” kata Vidri.
kamipun tidur, aku tidur di kamarku dan Vidri tidur di kamar tamu. Keesokan harinya, kamipun terbangun dengan keadaan demam tinggi. “aha, kau kena demam juga ternyata.” Kataku sambil membawa bubur untuk Vidri. “yap, ini lucu,” kata Vidri. “haha kenapa?” kataku sambil menutup pintu dengan kakiku. “coba kau fikir. Setelah kita berdua jadian kenapa hari pertama malah demam?” katanya, kulihat tangannya melipat di depan dada. “hahah, kau ini, sudahlah.” Kataku menaruh nampan berisi makanan tadi di meja sebelah tempat tidur. “ayo, sekarang waktunya makan, aaa” kataku mulai menyuapinya dengan sesendok bubur. “tunggu, bukan kah hari ini bukan hari libur?” tanyanya. “mamaku sudah memberi tau wali kelas kita kalau hari ini kita, izin,” jelasku. “bagaimana dengan buku kita?” tanyanya lagi, membuat suapanku lagi-lagi tertahan. “sudahlah, sekarang tugasmu adalah membuka mulutmu dan makan ini.” Kataku sambil menjejalkan suapanku yang tertahan dari tadi di depan mukanya. Mukanya pun sekarang belepotan bubur, “hahaha mukamu jadi penuh bubur tuh.” Tawaku meledak saat melihat ekspresinya seperti anak kecil yang permennya diambil. “sekarang giliranmu…” katanya tersenyum evil, lalu mencolek bubur yang ada di mangkok ke arah mukaku. So? Mukaku pun sekarang terasa lengket. Aku membalasnya lagi, sampai kami perang. Cklek.. pintu kamarpun terbuka. Ternyata mama. “ya ampun, kalian ini sedang apa? Lihat kalian, muka kalian penuh dengan bubur, sekarang bersihkan muka kalian lalu makan dengan benar!” titah mama menyeramkan. “baik ma…” “baik tante” kataku dan Vidri kompak.

Kamipun pergi ke westafel, “ini gara-gara kamu tau,” kataku menyalahkan Vidri. “karenamu…” Vidri berganti menyalahkanku. Seketika kami berpandangan lalu tertawa. “kalian ini, apa yang kalian tertawakan?” kata mama dari arah belakang kami. “ah? Tidakk..” kata kami kompak, kami kembali perpandangan. Dan kembali tertawa. Mama yang melihat tingkah laku kami hanya menggeleng heran. Sedangkan kami semakin tertawa lepas. Hal yang kami tertawakan biarlah hanya kami yang tau.
Flashback end ~

Aku dan Vidripun sampai di cafe, dan bertemu dengan Ka Mukti, Mba Tias, dan Lusi, ternyata tebakkan ku benar kami membicarakan tentang liburan kali ini. Hem, ada apa ya di liburan kali ini? Tunggu saja cerita ku selanjutnya

0 comments:

Post a Comment